Salam Budaya

"Menulis Sampai Habis"

Sabtu, 29 Agustus 2009

Balik Mewarnai Matamu

Kilatan Itu Membuar
Seperti Buaran Bentangan Cahaya
Cahaya Yang Balik Mewarnai Matamu

Kamis, 27 Agustus 2009

Terserah Sudah

Kopinya Mulai Dingin
Tak Perlu Membuatkan Lagi Kopi Panas
Aku Hanya Perlu Berpamitan Padamu
Karena Dinding Malam Kini Bertambah Bisu
Yang Terdengar Ketika Aku Membelakangimu
Kau Berucap....Terserah Sudah

Sabtu, 25 Juli 2009

Perempuan Berbungkus Kata-Kata


Kau lahirkan bangunan kata setiap kita bercengkrama. Kau menertawaiku biasa saja. Tidakkah kau sadari dirimu tak lebih perempuan yang berbungkus kata-kata. Memang (mungkin) lebih biasa dari diriku, “Ssstt..jangan pernah menaikkan tensi karena kalimatku ini,” karena kita mungkin sama saja. Berharap bangunan itu jadi sarang sendiri nantinya.

Dan kau memahami bangunan itu belum tentu kuat. Karena dibungkus balutan abjad liar rapuh yang kau dapat dalam keranjang sisa. Kita memang mampu melindungi diri. Tapi itu hanya sementara waktu. Setelah itu apakah perlu kita susun lagi rencana membuat bangunan baru. Hendaknya saat ini kita membangun kembali semua. Dengan materi yang pantas agar tak jadi bangunan basi. Hingga pantas kita tempati kembali.

Balikpapan 11 Mei 2009
18:38 PM
Hilang


Sekilas aku memang telah berkhianat terhadap hati sendiri. Menerabas batas luas membiarkanmu pergi mencari ruang jingga yang kau butuhkan. Tidak kau lihat disini masih berserakan semua. Perabotan masih berbalut sisa tadi malam. Sehabis melontarkan kata kau pergi. Meninggalkan sensasi tinggi yang membuat mati. Dan sepantasnya kau selesaikan dulu biar tak jadi amarah merah. Dan seharusnya kita tak kehilangan kata. Semestinya.


Balikpapan 11 Mei 2009
17:37 PM
Suatu Malam Basah
: sobat


Seorang teman lama bertandang di suatu malam basah. Beberapa kata yang keluar dari diri menyambutnya. Mempersilahkan ia duduk lalu membuatkan segelas kopi panas. Kita mengenang sebuah sungai kecil dibelakang rumah. Tempat kita mengail selepas sekolah. Mendapatkan ikan lalu membakarnya dengan salah satu puisimu.

Selayaknya kini jadi kenangan dalam memori bersahaja. Tawa, canda atau mungkin puisi itu kita hasilkan dalam waktu ribuan jam. Kini kau bicara sebuah kematangan. Dan yang perlu kau ketahui setiap orang punya pemaknaan yang berbeda tentang semua hal. Jangan kau samakan tempat ini dengan tempat kita mengail dulu. Karena sungguh amat jauh berbeda.
Hujan masih juga basah. Membasahi mulutmu hingga basahnya meluap kemana-mana. Jangan kau basahi hal yang masih ingin kering. Kau cukup membasahi pikiranku saja. Dan itu sudah cukup, karena bicaramu hanya berputar-putar. Dan itu semua tenggelam dalam pembicaraan gerak yang tertahan. Semua jadi mimpi yang sia-sia karena semua tak diawali.


Balikpapan 7 Mei 2009
02:49 AM

Teh Tawar Aroma Rindu

Teh Tawar Aroma Rindu
: Reinha


Teh tawar aroma melati. Ambil gelas dan tuang teh aroma melati. Tanpa gula. Seduh dengan air sepanas hatimu yang rindu itu. Jangan marah karena meminta kau cepat menghabiskannya. Sisakan saja ampasnya karena mungkin berguna. Aku akan menyeduh kembali lalu meminumnya. Kuharap masih dengan rasa yang sama.

Panas rindumu yang mendidih itu mungkin saja sudah mengental lama. Walau keharumannya hanya menimbulkan haru. Beri saja pemanis agar sempurna kau hidangkan. Dan ingatlah pertemuan-pertemuan lalu dimana kita menanam ucapan yang jadi beberapa puisi. Nikmatilah hasilnya dengan kearifan bijaksana.

Jika mau, kau bisa membacanya kembali. Setiap bait yang yang tersusun rapi itu. Kini jadi potongan kata tak bermakna bagimu. Hanya jadi kenangan hari-hari penuh sangsi. Kau tak melihat balutan situs di ruang tunggu. Yang mematangkan diri dengan kekosongan-kekosongan sepi.

Kita menafsirkan berbeda tentang kekosongan-kekosongan sepi itu. “Atau memang pemaknaan kita berbeda dalam semua hal?”. Semua itu bukan gumaman dongeng untuk diri sendiri. Tapi sebuah cerita nyata yang masih dalam kertas maya. Dan kini seolah-olah rindu itu memanasi aku untuk segera menyiapkan diri. Untuk segera terkena panasnya.


Balikpapan 1 Mei 200914:30 PM

Jumat, 15 Mei 2009


Sarapan Yang Pergi

: sendiri

Yang tertinggal kini hanya pisau
Yang tertinggal kini hanya roti dingin
Yang tertinggal hanya meja makan sepi
Sepertinya semua indera hampir buta

Yang tertinggal hanya susu tadi malam
Yang tertinggal hanya rambutmu sehelai
Yang tertinggal hanya aku
mimpi sendiri


Lovie Gustian
Balikpapan 28 April 2009
09:40 AM

Wajah Sayu

: perempuan


Sesudah aku membuat tubuhmu bergetar. Dan apa hatimu juga bergetar. Seperti ingin pisahkan semua hal itu saat ini. Tapi, aku ada di dalam matamu, mengapa selalu seperti tak bisa lari dari itu. Wajahnya sayu. Sayu yang sombong, saat aku membukakan pintu bagi dirinya. Pintu yang terbuat dari kayu sekeras batu. Dan di hadapanmu wajah itu tak berjanji apa-apa. Kecuali pertanyaan begitu banyak tanpa pernah ada jawabannya. Pikiranmu hanya mencoba mengira jawabannya. Jawaban yang telah kehilangan kerahasiannya. Dan oleh setiap wajah lain yang sama seperti wajahku. Wajah yang selalu sayu itu ingin merapat dan memasuki wajah kalian. Terus mencoba membaca rautnya. Wajah yang telah dirias. Seperti riasan wajah perempuan berpupur menanti suaminya pulang saat hari mendekat gelap.


Lovie Gustian
16:00 PM

Cahaya Memukul Daun

: generasi hijau


Aku melihat bayang di dalam matamu. Karena setiap bayang yang ada, juga ingin aku punya. Bayang yang selalu memandang seperti membacaku. Yang hanya diam tak bergerak, ia akan tetap seperti tiang pembaca makna. Makna yang gemar sekali bersuara. Makna yang sering kau dengar ketika masuk dalam sebuah rimba raya. Sambil berjalan membawa gumpalan daging dan darah agar sampai ke tengah. Supaya bertemu dengan setiap makna yang kau dengar, juga yang ingin aku temui.

Dan di rimba raya (di tengah setiap makna yang kau dengar, dan ingin kau temui itu), kau tampak berbaur, bercampur dan menyatu. Sambil bersuara nyaring melengking. Jadinya, suaramu pun dibuar makna. Seperti buaran bentangan cahaya. Cahaya yang balik menerangi matamu. Dan matamu pun terus melihat apa saja yang dilihatnya. Menerangi dengan sesukanya. Dan menerangi dengan cara yang berbeda.

Belukar tak berakar, pohon tak berdaun, hewan-hewan jadi liar, bumi bertambah panas, orang-orang beringas. Merobek dan menghancurkan setiap jengkal rimba raya. Merubahnya jadi tak tentu. Dan dengan cahaya itu, kau tetap berdiri tegak sejajar keangkuhan yang menghancurkan semuanya.

“Dan apa cahaya semacam itu tak berbalik?,” aku bertanya padamu. Tapi kau tak menjawab. Terus saja menerangi dengan cara yang berbeda. Sampai akhirnya, aku merasa (dan juga melihatnya), semesta telah mendering cahaya. Berganti dalam cahaya-cahaya yang tak terduga. Cahaya yang memukul daun (apa kita juga mesti kebingungan?) diantara semua itu, aku pun meminta balik bayang yang telah lama menatapku. Dan saat dia melihatku aku merasa itu bukan bayangmu. Sebab bayang itu terlalu berambigu bagi diriku.


Lovie Gustian
Balikpapan 26 April 2009
02:40 AM

Langkah Awal

: bicara sastra


#1
Kalian belum pergi ke pasar. Di dapur hanya ada peralatan masak berkarat, sudah lama tak panas. Tapi lihatlah para tamu mulai berdatangan. Mereka berbasa-basi kata dengan kita, awalnya renyah. Sepersekian waktu nanti mereka akan kasak-kusuk saling berbisik, menunggu, bila waktu akan kita hidangkan jamuan semu.

Perhatikan saja ruang ini jadi penuh bunyi sedang rumah yang kita tempati belum jadi. Dengarkan bisikan mereka membicarakan rumah kita, membandingkan dengan rumah mereka yang sudah tentu jadi buku. Sementara itu beberapa yang lain juga sibuk bicara apa jamuan yang kita hidangkan nantinya.

Mereka mungkin tak sadar saat beberapa dari kita sibuk untuk pergi ke pasar membeli bahan lalu meraciknya sendiri dengan melihat panduan lama. Menghaluskan bumbu lalu mencampurnya jadi kesatuan yang terikat. Kemudian menghidupkan perapian, “Memasaknya seperti apa?,” Kita hanya saling berpandangan.

#2
“ah…lihatlah kembali panduan itu,” kata seorang diantara kita. Kita membacanya kembali. Mencoba membaca lebih teliti. Ternyata didalamnya hanya terbaca bahan-bahan dan bumbu saja. ”Lalu bagaimana cara membuatnya?.” Hampir bersamaan kita berkata seperti itu.

Para tamu mulai ricuh diluar sana menunggu jamuan yang tak kunjung datang. Sejak tadi mereka hadir untuk datang dalam perjamuan kali ini. Mengharapkan sesuatu yang baru dari orang baru. “Hal ini memang untuk terlalu awal untuk jadi, tapi ini harus dimulai saat ini.” Lalu mereka mulai bersuara tinggi yang menulikan.

Pelan-pelan kita mulai menyelesaikan hidangan dengan cara kita, memasaknya dengan panas minyak kelapa yang tersisa. Aromanya telah sampai walau dengan penciuman berbeda. Membuat lapar mengalahkan sabar, dari awal hingga matang. “Keinginan yang muncul untuk mencicipi lebih dulu dari tamu.”

#3
Ternyata rasa punya makna yang berbeda-beda. Mula-mula ia datang di ujung lidah, akhirnya kita tak paham rasa itu berasal dari campuran mana. Semuanya jadi satu dan matang, setelah dimasak. Tapi itu semua itu berkat proses yang tak akan jadi tanpa adanya kesatuan. Semuanya tak bisa berdiri sendiri, jika ingin menjadi.

Akhirnya kita kembali memburu waktu yang sudah hampir duduk karena kelelahan, ia duduk di pojokan sepi. Menyiapkan pinggan, menyajikan makanan yang telah menebarkan aroma dimana-mana walau belum mencapai ujung lidah para tetamu. Rasanya yang diharapkan disukai atau bisa menambah warna. Bisa dikata, “,inilah cita rasa khas Balikpapan tercinta.”

“Mari silahkan dimakan,” sambil tersenyum kita mempersilahkan. Diantaranya mereka mulai tersenyum, dibayangi oleh senyum kita yang masih malu-malu. Menunggu komentar mereka sembari melihat waktu, berharap ini bisa dilewati. Walau sebenarnya kita berharap cemas tentang bias ataupun tentang kerutan-kerutan muka bisu, kita tetap berharap “,untuk langkah awal hari, mungkin hidangan ini bukan untuk kalangan sendiri..”


Lovie Gustian
Balikpapan 24 April 2009
17:00 PM

Senin, 20 April 2009

Tersebutlah Kata

Air Basahi Puisi
Semua Menyaksikan Dia Membasahi Puisi
Semua Merapal Mantra Agar Dingin Tak Pegang Kendali
Rasakan Gigil Karena Dingin
Rasakan Air Mengalir Mata
Lalu Perlahan-lahan
Terdengar Suara Dari Diri
Bersama Kata Ia Muncul Seketika
Dari Gejolak Yang Bersiul-siul
Tak Disangka
Laku Tak Datang Aku
Terbenam Dalam Diri Hingga Jadi Ilusi

Senin, 02 Februari 2009