Salam Budaya

"Menulis Sampai Habis"

Jumat, 15 Mei 2009


Sarapan Yang Pergi

: sendiri

Yang tertinggal kini hanya pisau
Yang tertinggal kini hanya roti dingin
Yang tertinggal hanya meja makan sepi
Sepertinya semua indera hampir buta

Yang tertinggal hanya susu tadi malam
Yang tertinggal hanya rambutmu sehelai
Yang tertinggal hanya aku
mimpi sendiri


Lovie Gustian
Balikpapan 28 April 2009
09:40 AM

Wajah Sayu

: perempuan


Sesudah aku membuat tubuhmu bergetar. Dan apa hatimu juga bergetar. Seperti ingin pisahkan semua hal itu saat ini. Tapi, aku ada di dalam matamu, mengapa selalu seperti tak bisa lari dari itu. Wajahnya sayu. Sayu yang sombong, saat aku membukakan pintu bagi dirinya. Pintu yang terbuat dari kayu sekeras batu. Dan di hadapanmu wajah itu tak berjanji apa-apa. Kecuali pertanyaan begitu banyak tanpa pernah ada jawabannya. Pikiranmu hanya mencoba mengira jawabannya. Jawaban yang telah kehilangan kerahasiannya. Dan oleh setiap wajah lain yang sama seperti wajahku. Wajah yang selalu sayu itu ingin merapat dan memasuki wajah kalian. Terus mencoba membaca rautnya. Wajah yang telah dirias. Seperti riasan wajah perempuan berpupur menanti suaminya pulang saat hari mendekat gelap.


Lovie Gustian
16:00 PM

Cahaya Memukul Daun

: generasi hijau


Aku melihat bayang di dalam matamu. Karena setiap bayang yang ada, juga ingin aku punya. Bayang yang selalu memandang seperti membacaku. Yang hanya diam tak bergerak, ia akan tetap seperti tiang pembaca makna. Makna yang gemar sekali bersuara. Makna yang sering kau dengar ketika masuk dalam sebuah rimba raya. Sambil berjalan membawa gumpalan daging dan darah agar sampai ke tengah. Supaya bertemu dengan setiap makna yang kau dengar, juga yang ingin aku temui.

Dan di rimba raya (di tengah setiap makna yang kau dengar, dan ingin kau temui itu), kau tampak berbaur, bercampur dan menyatu. Sambil bersuara nyaring melengking. Jadinya, suaramu pun dibuar makna. Seperti buaran bentangan cahaya. Cahaya yang balik menerangi matamu. Dan matamu pun terus melihat apa saja yang dilihatnya. Menerangi dengan sesukanya. Dan menerangi dengan cara yang berbeda.

Belukar tak berakar, pohon tak berdaun, hewan-hewan jadi liar, bumi bertambah panas, orang-orang beringas. Merobek dan menghancurkan setiap jengkal rimba raya. Merubahnya jadi tak tentu. Dan dengan cahaya itu, kau tetap berdiri tegak sejajar keangkuhan yang menghancurkan semuanya.

“Dan apa cahaya semacam itu tak berbalik?,” aku bertanya padamu. Tapi kau tak menjawab. Terus saja menerangi dengan cara yang berbeda. Sampai akhirnya, aku merasa (dan juga melihatnya), semesta telah mendering cahaya. Berganti dalam cahaya-cahaya yang tak terduga. Cahaya yang memukul daun (apa kita juga mesti kebingungan?) diantara semua itu, aku pun meminta balik bayang yang telah lama menatapku. Dan saat dia melihatku aku merasa itu bukan bayangmu. Sebab bayang itu terlalu berambigu bagi diriku.


Lovie Gustian
Balikpapan 26 April 2009
02:40 AM

Langkah Awal

: bicara sastra


#1
Kalian belum pergi ke pasar. Di dapur hanya ada peralatan masak berkarat, sudah lama tak panas. Tapi lihatlah para tamu mulai berdatangan. Mereka berbasa-basi kata dengan kita, awalnya renyah. Sepersekian waktu nanti mereka akan kasak-kusuk saling berbisik, menunggu, bila waktu akan kita hidangkan jamuan semu.

Perhatikan saja ruang ini jadi penuh bunyi sedang rumah yang kita tempati belum jadi. Dengarkan bisikan mereka membicarakan rumah kita, membandingkan dengan rumah mereka yang sudah tentu jadi buku. Sementara itu beberapa yang lain juga sibuk bicara apa jamuan yang kita hidangkan nantinya.

Mereka mungkin tak sadar saat beberapa dari kita sibuk untuk pergi ke pasar membeli bahan lalu meraciknya sendiri dengan melihat panduan lama. Menghaluskan bumbu lalu mencampurnya jadi kesatuan yang terikat. Kemudian menghidupkan perapian, “Memasaknya seperti apa?,” Kita hanya saling berpandangan.

#2
“ah…lihatlah kembali panduan itu,” kata seorang diantara kita. Kita membacanya kembali. Mencoba membaca lebih teliti. Ternyata didalamnya hanya terbaca bahan-bahan dan bumbu saja. ”Lalu bagaimana cara membuatnya?.” Hampir bersamaan kita berkata seperti itu.

Para tamu mulai ricuh diluar sana menunggu jamuan yang tak kunjung datang. Sejak tadi mereka hadir untuk datang dalam perjamuan kali ini. Mengharapkan sesuatu yang baru dari orang baru. “Hal ini memang untuk terlalu awal untuk jadi, tapi ini harus dimulai saat ini.” Lalu mereka mulai bersuara tinggi yang menulikan.

Pelan-pelan kita mulai menyelesaikan hidangan dengan cara kita, memasaknya dengan panas minyak kelapa yang tersisa. Aromanya telah sampai walau dengan penciuman berbeda. Membuat lapar mengalahkan sabar, dari awal hingga matang. “Keinginan yang muncul untuk mencicipi lebih dulu dari tamu.”

#3
Ternyata rasa punya makna yang berbeda-beda. Mula-mula ia datang di ujung lidah, akhirnya kita tak paham rasa itu berasal dari campuran mana. Semuanya jadi satu dan matang, setelah dimasak. Tapi itu semua itu berkat proses yang tak akan jadi tanpa adanya kesatuan. Semuanya tak bisa berdiri sendiri, jika ingin menjadi.

Akhirnya kita kembali memburu waktu yang sudah hampir duduk karena kelelahan, ia duduk di pojokan sepi. Menyiapkan pinggan, menyajikan makanan yang telah menebarkan aroma dimana-mana walau belum mencapai ujung lidah para tetamu. Rasanya yang diharapkan disukai atau bisa menambah warna. Bisa dikata, “,inilah cita rasa khas Balikpapan tercinta.”

“Mari silahkan dimakan,” sambil tersenyum kita mempersilahkan. Diantaranya mereka mulai tersenyum, dibayangi oleh senyum kita yang masih malu-malu. Menunggu komentar mereka sembari melihat waktu, berharap ini bisa dilewati. Walau sebenarnya kita berharap cemas tentang bias ataupun tentang kerutan-kerutan muka bisu, kita tetap berharap “,untuk langkah awal hari, mungkin hidangan ini bukan untuk kalangan sendiri..”


Lovie Gustian
Balikpapan 24 April 2009
17:00 PM